Kunjungan

Suka Duka Belajar di Negeri Orang (2)

Setelah menginap dua malam di rumah mas Aris, akhirnya saya pindah ke apartment kampus. Oleh karena saya tidak membawa keluarga, maka saya pilih tinggal di International House. Di Colorado State University, sebenarnya ada dua tipe apartment yaitu apartment untuk mahasiswa single dan apartment untuk mahasiswa berkeluarga. Sewa apartment single tentu lebih murah dibandingkan dengan apartment keluarga.

Apartment saya diberi nama International House karena memang diperuntukkan untuk mahasiswa-mahasiswa international. Mahasiswa-mahasiswa yang tinggal di situ berasal dari berbagai negara. Bagi mahasiswa yang rajin berkomunikasi dan berinteraksi, dipastikan akan memiliki banyak teman dari berbagai negara. Untuk meningkatkan keakraban dan pergaulan antar sesama mahasiswa, sekali seminggu pihak kampus mengadakan acara yang bertajuk International Day.

Meskipun acara ini diinisiasi oleh kampus, namun pelaksanaan teknisnya dipercayakan kepada masyarakat sekitar kampus. Mereka dengan suka rela bergabung dalam komunitas Friday Afternoon Club (FAC). Uniknya, masyarakat sekitar kampus sangat antusias untuk mengikuti kegiatan tersebut. Bahkan, tidak jarang mereka merogoh kocek mereka untuk memfasilitasi acara itu.

Setiap hari Jum'at, mahasiswa dan komunitas FAC berkumpul di halaman belakang apartment. Masing-masing orang, khususnya anggota komunitas FAC, membawa makanan sendiri-sendiri untuk disharing kepada yang lain. Tidak heran bila setiap Jum'at malam makanan dengan berbagai variasinya disajikan. Tidak ada pungutan walaupun ketika hadir tidak membawa apa-apa.

Bagi mahasiswa yang baru pertama tiba di AS, kegiatan ini tentu sangat membantu, khususnya untuk mengenal seluk beluk budaya dan kehidupan orang Amerika. Anggota komunitas FAC selalu senang bila diajak berbicara. Bagi mereka, berbicara dengan mahasiswa international membawa kesenangan tersendiri. Dengan berbagi cerita, katanya, mereka bisa mengetahui banyak hal mengenai negara-negara lain.

Manfaat komunitas ini memang cukup banyak. Terus terang, saya banyak merubah mindset saya tentang Amerika Serikat melalui komunitas itu. Sebelum berangkat, saya beranggapan bahwa seluruh orang Amerika senang melakukan invasi ke Irak. Ternyata, pandangan saya itu salah. Bahkan, mayoritas penduduk Amerika tidak menyenangi invasi tersebut. Bahkan, banyak dari warga Amerika yang melakukan aksi-aksi penolakan terhadap invasi itu. Begitu juga dengan banyak kebijakan pemerintah Amerika lainnya.

Singkat cerita, saya tinggal satu apartment dengan seorang mahasiswa asal Jerman yang bernama Robin. Satu apartment, biasanya dihuni oleh dua orang mahasiwa. Di dalam apartment itu terdapat dua kamar dan masing-masing mendapat satu kamar. Hanya saja, terdapat common room (ruang bersama) yang dipergunakan berdua yaitu dapur, meja makan, dan kamar mandi. Meski ada common room, privasi masing-masing tetap terjaga dengan baik.

Robin adalah mahasiswa S2 jurusan Fisika. Anaknya sangat pintar. Prestasi belajarnya luar biasa bagus. Ketika belajar di sana saja, dia memiliki penemuan otentik tentang rumus fisika (yang katanya) sudah lama diperdebatkan. Dia berhasil memberikan solusi terhadap masalah itu melalui penelitiannya (Saya tidak ingat apa konteks penelitiannya waktu itu. Maklum, saya juga tidak begitu paham fisika).

Sayangnya, Robin kelihatannya sangat tertutup. Dia tidak begitu banyak bicara. Dia hanya mau bicara bila ditegur dan disapa. Hal lain yang menurut saya aneh adalah pola sarapannya. Saya perhatikan, setiap hari dia selalu makan roti dengan dua buah telor mentah. Minumannya, juga selalu jus jeruk yang dibeli botolan. Saya kadang berpikir, apa dia tidak bosan ya? Kalau alasan untuk mengirit, saya kira tidak juga. Selain mendapat beasiswa dari kampus, dia juga anak semata wayang dengan orang tua yang cukup berada. Mamanya, bahkan telp dia hampir setiap hari. Tetapi ya itulah Robin. Saya tinggal satu apartment dengan dia selama satu semester. Bagaimana pun, dia adalah roommate yang sangat baik.

Oh iya, di International House ternyata ada beberapa orang mahasiswa Ford Foundation. Di apartment inilah saya berkenalan dengan banyak mahasiswa Ford. Salah satu di antaranya adalah Siphelo Ngcwangu (orang yang seharusnya saya hubungi ketika pertama kali tiba di Fort Collins). Dia mendapat beasiswa S2 untuk belajar sosiologi di CSU.

Berbeda dengan Robin, Siphelo ternyata sangat komunikatif. Dia juga banyak menjelaskan perihal beasiswa yang kami peroleh. Bahkan, dia sangat rajin memperkenalkan saya dengan kawan-kawan mahasiswa international lainnya. Pergaulannya cukup luas. Ketika saya tiba, dia sudah hampir selesai menulis tesis. Saya berteman dengan dia sekitar tiga bulan sebelum dia pulang ke Johannesburg, tempat dia mengajar di salah satu universitas di sana.

Ketika dia hendak mau pulang, dia menawarkan mobil tuanya kepada saya. Waktu itu, saya sangat tidak tertarik untuk membelinya. Selain uang pas-pasan, saya juga belum memiliki SIM Colorado. Rata-rata di seluruh negara bagian AS, mengenderai kenderaan tanpa dilengkapi SIM adalah tergolong pelanggaran berat. Bila seseorang tertangkap mengemudi tanpa SIM, maka dia harus disidang di pengadilan. Kalau pada saat persidangan tidak hadir, maka hakim akan mengeluarkan semacam perintah untuk menangkap yang bersangkutan. Kalau itu terjadi, bisa-bisa akan ditampilkan dalam criminal record yang bisa diakses oleh aparat keamanan di seluruh wilayah AS.

Meski saya tidak tertarik, Siphelo tetap gigih menawarkannya kepada saya. Hampir tiap hari dia menelp dan menemui saya. Akhirnya, saya coba tanyakan berapa harganya. Dengan tidak ragu, dia menawarkan USD 750. Bahkan dia mengatakan sebenarnya mobil itu mau diberikan saja kepada saya. Tetapi karena dia butuh uang untuk mengirim barang-barang dia, maka dia minta dibantu. Setelah saya tawar, akhirnya dia setuju dengan harga USD 350 (kurang lebih 3 juta limaratus waktu itu). Sebelum saya bayar, saya minta agar ada test drive. Secara diam-diam, kami berangkat ke lokasi kampus untuk test drive. Kelihatannya tidak ada masalah. Meski sedikit tua, mobil itu tetap bagus dan layak jalan.

Setelah dibayar, bukan berarti selesai. Kami berdua harus pergi ke tempat registrasi mobil. Ketika itu, dalam laporan kami ke petugas, mobil itu adalah hibah. Ini kami lakukan agar tidak dikenai pajak pembelian yang tentu akan menambah harga. Dengan hibah, berarti pajak ditiadakan.

Setelah itu selesai, mobil resmi menjadi milik saya. Platnya pun diganti dengan yang baru. Plat milik Siphelo dibawanya untuk dimusnahkan untuk menghindari disalahgunakan orang lain untuk berbuat tindakan kejahatan. Bila plat mobil kita dipakai orang untuk melakukan tindakan kejahatan, maka urusannya akan repot. Sebab, seluruh plat mobil diregistrasi dengan benar dan sangat mudah menemukan pemiliknya.

Urusan saya berikutnya adalah SIM. Di AS, tidak ada percaloan seperti di Indonesia. SIM harus benar-benar diurus sendiri. Seperti di Indonesia, ada dua macam test, yaitu tulis dan mengemudi. Saya membutuhkan waktu satu minggu untuk mempelajari materi test tersebut. Ada banyak perbedaan peraturan lalu lintas antara Indonesia dan Amerika. Karena itu, harus betul-betul dipelajari secara baik. Untungnya, ada banyak informasi tentang materi tersebut di internet, termasuk praktiknya langsung di dalam video-video yang ada di youtube. Setelah merasa memahami, saya akhirnya mendatangi kantor DMV (Division of Motor Vehicle). Kantor ini tidak berada di bawah kepolisian, tetapi berada di bawah Department of Revenue. Setiap kali datang test, seseorang diberi kesempatan mengikuti dua kali test. Saya dinyatakan lulus, ketika itu, setelah mengikuti test kedua. Soalnya memang lumayan berat, apalagi bahasa Inggris yang masih serba terbatas.

Setelah lulus test tertulis, saya mengikuti test drive. Kali ini, saya tidak test di DMV. Masalahnya sangat sederhana. Mobil saya itu kelihatannya tidak enak kalau harus dinaiki oleh petugas DMV. Terlalu tua dan khawatir gara-gara tidak nyaman duduk di dalam, justru malah tidak lulus. Setelah mendengar saran dari kawan, akhirnya saya mengikuti test lewat satu lembaga swasta yang bekerjasama dengan DMV. Lembaga ini sesungguhnya adalah lembaga kursus mengemudi. Karena saya sudah pandai mengemudi, saya akhirnya langsung ikut test. Waktu itu, biayanya USD 50, lebih mahal USD 30 dibandingkan ikut test di DMV. Meski membayar, bukan berarti langsung lulus. Test betul-betul dilakukan. Lembaga kursus ini, konon, tidak akan mau disogok. Sekali ketahuan, maka lembaganya pasti ditutup. Alhamdulillah, sekali test saya dinyatakan lulus.

Dengan SIM itu kemudian saya bisa mengemudi mobil di Fort Collins. Mobil warisan Siphelo ini ternyata bisa saya pakai kurang lebih 1 tahun 2 bulan. Saya terakhir memakai mobil itu ketika menjemput anak saya di sekolahnya, TK Bright Horizon. Ketika parkir, mobil kelihatannya tidak ada masalah. Tetapi, setelah memasukkan anak ke mobil, ternyata tidak bisa dihidupkan sama sekali. Saya tidak tahu apa masalahnya ditambah lagi pengetahuan yang serba kurang tentang mesin. Akhirnya, mobil itu tetap saya parkir di sekolah setelah terlebih dahulu izin kepada pihak sekolah.

Saya berencana naik bis. Tetapi karena bis baru saja lewat, terpaksa kami harus berjalan kaki. Jalan kaki memang pilihan terbaik mengingat jadwal yang tertera di dinding halte, mobil berikutnya akan datang 30 minute lagi. Saya putuskan jalan kaki untuk mengejar jadwal kuliah. Karena jarak yang ditempuh agak lumayan jauh, Kaysa (anak saya) sesekali harus digendong. Syukurnya, Kaysa tidak pernah mengeluh selama perjalanan. Bahkan, dari sekian banyak episode yang pernah kami lewatkan bersama di AS, episode ini yang sangat diingatnya. Walau sudah berlangsung tiga tahun lalu, ketika saya tanya sekarang, dia masih mengingatnya.Bahkan lagu-lagu yang kami nyanyikan bersama sepanjang jalan masih diingatnya dengan baik.

BERSAMBUNG…

Related Posts